BERDAMAILAH DENGAN AJARAN AGAMA
Tidak sedikit orang tidak berdamai dengan agamanya sendiri. Agama dirasakannya sebagai beban bahkan menyiksa. Seolah-olah agama dikesankan sebagai pemasang daerah terlarang di sekitar kehidupan. Semua yang enak-enak dilarang. Yang berat-berat diwajibkan. Anggapan seperti ini contoh negatif umat beragama. Mestinya sebaliknya, kehadiran agama justru akan menentramkan batin, membebaskan diri dari belenggu pikiran yang egois, dan mengarahkan jalan kehidupan yang luhur. Beragama yang baik berarti mengintrodusir nilai-nilai ajaran agama di dalam kehidupan sehari-hari, baik secara pribadi, anggota keluarga, maupun anggota masyarakat. Banyak cara orang menampilkan rasa dan rasio keagamaannya di dalam masyarakat. Ada yang lebih menekankan aspek subtansi ajaran agamanya diimplementasikan di dalam kehidupan masyarakat. Ada juga yang lebih menekankan aspek formal-logic ajaran agamanya. Tentu ada juga orang yang secara stimultan memulai penerapan subtansi nilai-nilai ajaran agama pada dirinya seraya berjuang dan menunggu institusi dan pranata keagamaannya terwujud di dalam kehidupan sehari-hari.
Masyarakat plural seperti Indonesia, cara paling efektif menampilkan corak keagamaan kita ialah dengan cara toleransi, kooperatif, dan demokratis. Cara-cara seperti ini jangan diartikan cara paling rendah dan lemah seseorang menampilkan ajaran agamanya. Dengan kata lain, bukanlah orang yang beragama secara kuat diukur melalui kekuatan dan konsistensi seseorang memegang ajaran agamanya di dalam kehidupan masyarakat. Cara ini tidak peduli orang lain dan dalam keadaan apapun dan di manapun ia konsisten menampilkan aspek formal-logic ajaran agamanya.
Memaksakan kehendak pribadi di tengah komunitas lain tanpa memilah kepentingannya merupakan cara kurang bijaksana. Boleh jadi kemampuan seseorang untuk mengendalikan diri untuk memahami kepentingan orang banyak lebih mulia ketimbang secara spontan bereaksi kepada masyarakat untuk melakukan protes atas nama ajaran agama, apalagi masih ada solusi lain yang dapat menjadi alternatif. Kita jangan lupa bahwa menahan diri seringkali lebih sulit dan lebih mulia ketimbang mengikuti emosi. Sungguhpun itu emosi keagamaan, akan jauh lebih mengesankan jika setiap orang memperkenalkan kehidupan beragama dengan bijak.
Mengedepankan kedamaian adalah cara terhormat sebagai warga bangsa yang plural dan majemuk. Kedamaian bisa menjadi kekuatan dakwah lebih efektif ketimbang dakwah melalui pemaksaan kehendak. Salah satu suksesnya Nabi di dalam memperkenalkan ajaran Islam ialah karena mengedepankan aspek kemanusiaan dan kedamaian.
Suatu saat Nabi mengajak orang untuk berkenalan dengan ajaran Islam, namun orang itu mengatakan “saya bisa mengikuti kamu (Nabi) tapi saya tidak bisa shalat.” Nabi menjawab, “boleh yang penting anda mulailah dengan tidak berbohong kepada siapapun.” Dalam kasus lain, seorang secara jujur mengatakan ”Saya mau masuk Islam tetapi saya tidak bisa shalat Subuh.” Nabi pun menerimanya. Akhirnya kedua orang ini terkesan dengan kelembutan Nabi memperkenalkan agamanya. Maka kedua orang ini menjadi penganut agama Islam secara sukarela. Itulah kearifan seorang umat beragama sejati.