APA ITU CINTA?
Cinta tak bisa didefinisikan. Di awal pembahasannya tentang cinta, Ibn ‘Arabi mengingatkan para pembacanya tentang fakta ini: “Engkau mesti tahu bahwa apa-apa yang diketahui bisa dibagi dua. Yang satu bisa didefinisikan dan yang lainnya tidak bisa. Orang-orang yang tahu dan berbicara tentang cinta sepakat bahwa hal yang satu ini termasuk dalam hal yang tak bisa didefinisikan. Seseorang menyadarinya saat keadaan itu bersemayam dalam dirinya dan saat ia telah menjadi bagian dari sifatnya. Dia tak tahu apa itu tapi dia tak menyangkal keberadaannya. Sang Syaikh menyebut cinta suatu pengetahuan yang dirasa. Orang tak bisa tahu tentangnya kecuali dengan mengalami/merasakannya. Bahkan setelah merasakan pun, dia tak bisa menjelaskannya kepada orang lain. Maka, Sang Syaikh pun berkata: “Orang yang mendefinisikan cinta belumlah memahaminya. Dan dia yang belum merasakan dengan menenggaknya, belum mengetahuinya.” Sebagaimana Allah hanya bisa diketahui dari sifat-sifat-Nya, cinta pun tak bisa diketahui sebagaimana adanya, tapi sifat dan namanya bisa diketahui dan dideskripsikan.
Terlalu besar cinta itu, kata Rumi, sehingga ia tak bisa didefinisikan. Bagaimana ia mau didefinisikan jika sesungguhnya seluruh wujud dan kehidupan ini adalah cinta? Tak ada dalam kehidupan ini yang bisa mendefinisikan cinta. Justru cinta itulah yang mendefinisikan kehidupan. Meski kata “definisi” di sini sama sekali tidak tepat. Karena, alih-alih membatasi, cinta yang meliputi kehidupan ini tak punya batas. Bagaimana punya batas, jika sesungguhnya cinta sebenarnya adalah (bersumber dari) Tuhan itu sendiri?
“Cinta adalah rasa yang melampaui batas. Maka dikatakan bahwa Cinta adalah Sifat Sejati Tuhan. Cinta jadi sifat hamba hanya sebagai turunan dari itu. … ketahuilah bahwa cabang-cabang Cinta ada dalam Keabadian, tanpa awal; akarnya juga ada dalam keabadian, tanpa akhir. … orang menyebut-Mu Cinta, aku menyebut-Mu Sultan Cinta.”
“Jika aku harus melanjutkan penjelasanku tentang Cinta, maka akan berlalu seratus (kematian dan) kebangkitan sebelum aku bisa menyelesaikannya ….”
Maka, dalam ketidakterbatasan itu, Rumi mengakui ketakberdayaannya untuk mengungkapkan cinta: “Apa pun yang aku katakan untuk menjelaskan dan memerikan Cinta, itu cuma membuatku dicekam rasa malu …. Cinta tak dapat ditampung dalam kata-kata yang kita ucapkan atau kita dengar: cinta adalah samudra, yang kedalamannya tak dapat diukur …. Apakah kau kan menghitung jumlah tetesan samudra? Di hadapan Sang Samudra, tujuh lautan bukanlah apa-apa.”
Pada akhirnya dia hanya bisa mengeluh: “Mana mungkin mengukur samudra-Mu dengan piring?”
Sejalan dengan itu, menurut Imam Al-Ghazali, cinta hanya dapat dilihat dari akibat yang dihasilkannya.
Lalu, apa tanda-tanda cinta?
Kata Nabi: “Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal mengekspresikan rasa saling cinta, saling mewujudkan cinta, dan saling merasakan cinta adalah seperti satu tubuh yang ketika satu anggota tubuh itu ada yang mengeluh, maka seluruh tubuh meraa mengaduh dengan terus jaga tidak bisa tidur dan merasa panas." (HR. Muslim)
Dalam kesempatan lain, Nabi mengajarkan bahwa orang yang sedang jatuh cinta banyak mengingat
dan menyebut orang yang dicintainya (man ahabba syai’an katsura dzikruhu). Orang juga bisa diperbudak oleh cintanya (man ahabba syai’an fa huwa `abduhu).
Kata Nabi lagi, ciri cinta sejati ada tiga : (1) lebih suka berbicara dengan yang dicintai dibanding dengan yang lain, (2) lebih suka berkumpul dengan yang dicintai dibanding dengan yang lain, dan (3) lebih suka mengikuti kemauan yang dicintai dibanding kemauan orang lain/diri sendiri.
Dalam bahasa Al-Quran, cinta disebut dengan hubb. Kata Al-Qusyairi, penulis Rîsalah, hubb adalah cinta dan kasih sayang yang paling murni, sebagaimana orang Arab mengatakan habab al-asnân untuk menunjukkan orang yang giginya putih-murni. Penulis Kasyf Al-Mahbûb, Al-Hujwiri mengatakan bahwa hubb boleh jadi berasal dari habb yang bermakna benih. Hubb bermakna demikian karena ia bersemayam di benih-benih hati, tetap tak tergoyah sebagaimana benih tetap berada di tanah dan menjadi sumber kehidupan meski hujan-badai menerpa dan panas matahari membakar. Hubb juga disebut demikian karena kata itu berasal dari hibbah yang berarti benih tetanaman. Cinta disebut hubb karena sebagaimana hibbah adalah benih tanaman, ia adalah benih kehidupan.
Untuk menggambarkan penderitaan tak terperi akibat hampanya hidup tanpa cinta seperti ini, Rumi seperti mengeluh: “Ketahuilah, pencinta tanpa cinta adalah ikan tanpa air, mati dan kering, meski kalau mereka adalah para perdana menteri.”
Akhirnya, begitu dahsyatnya cinta sehingga – seperti dikatakan kaum ‘ulama’ – cinta meruntuhkan kesombongan dan membuat penderitanya tak segan merendahkan diri, merupakan sumber kekuatan dan pemusatan perhatian yang tak terbagi, melembutkan hati, menghilangkan pamrih pribadi, serta menjadikan orang dermawan dan penuh pemaafan.
Catatan: Tulisan ini adalah draft awal (pengumpulan bahan), dan bukan naskah final, bagi Kata Pengantar buku 40 Hadis Cinta yang in sya’ Allah akan terbit pada bulan September mendatang.