ISLAM AGAMA CINTA
Mendiang Prof. Annemerie Schimmel, dalam salah satu ceramahnya di Universitas Harvard di tahun 2002, pernah menyatakan bahwa Islam biasanya diperlakukan dengan agak buruk dan semberono, karena sebagian besar sejarawan agama dan mayoritas orang pada umumnya lebih melihatnya sebagai agama primitif yang melulu berhubungan dengan hukum (nomos oriented religion). Namun, mengutip pendekatan beberapa ahli fenomenologi agama, antara lain Gerard van Der Leeuw, Schimmel menunjukkan bahwa sesungguhnya Islam adalah sebuah agama yang tak kurang berorientasikan cinta-kasih (eros oriented religion).
Pada kenyataannya, bukan saja Tuhannya Islam adalah Tuhan Kasih-sayang yang menyatakan bahwa “Kasih-sayang-Ku meliputi apa saja” ... dan menundukkan murka-Ku’. Dalam ayat "bismil-Laahir-Rahmaanir-Rahiim” yang menjadi pembuka surat pertama dan semua surah dalam al-Qur’an– kecuali dalam salah satu surat, al-Tawbah, yang di dalamnya ayat bismillah ditempatkan di tengah surat— Tuhan menyebut dirinya dengan Allah— yakni asma: penggabung (al-asma' al-jami') dari kesemua asma'-nya—lalu menisbahkan kepadanya dua kata sifat yang sama-sama berakar dari kata “rahmah” (bermakna kasih sayang). Yakni, ar-Rahman ar-Rahim: Yang menyayangi seluruh makhluk-Nya tanpa terkecuali dengan memberinya semua bekal yang memungkinkannya hidup berbahagia, dan pada saat yang sama memberikan kasih-sayang khusus berupa petunjuk kepada manusia yang mau menapaki jalan-Nya (karena memang petunjuk-Nya hanya ada di jalan-Nya).
Nabinya Islam pun adalah nabi yang disebut Tuhan sebagai berakhlak agung karena cinta dan kasih-sayang-Nya kepada manusia: “yang sangat berat menanggung kesusahan orang, sangat ingin orang mendapatkan segala kebaikan, dan kepada orang-orang beriman penuh belas kasihan dan sayang.” Lihat bahwa setengah ayat pertama mengungkapkan bahwa empati dan simpati Nabi Saw terarah kepada semua manusia: baik beriman maupun tidak. Hal ini terungkap dlm kenyataan bahwa baru pada bagian ayat yang belakangan—mengenai obyek sifat santun dan kasih sayangnya— secara spesifik ditunjuk orang-orang beriman.
Bahkan, Tuhan sendiri yang memfirmankan bahwa sesungguhnya Dia menciptakan manusia— karena cinta— hanya agar manusia itu belajar-kembali mencintai-Nya, melalui pengenalan atas Diri-Nya. "Dan tak kucipta jin dan manusia kecuali untuk beribadah (kepada-Nya). Ibn 'Abbas memahami ungkapan "untuk beribadah" sebagai untuk "mengenali (Tuhan)“. Pada gilirannya kata mengenali identik dengan mencintai, mengingat kata 'a-b-d bermakna pula sebagai memuja. Dalam sebuah hadis qudsi, Allah sendiri mencipta manusia karena Dia rindu dikenali sebagai "Yang Pengasih, Penyayang, dan Menutup Aib hamba-Nya”. Dan mencintai-Nya, seperti diungkap dalam berbagai ajaran-Nya dan ajaran Nabi-Nya, hanya mungkin diwujudkan ke dalam kecintaan kepada
makhluk-Nya— yang oleh Tuhan sendiri tak kurang disebut sebagai kerabat (‘iyal)-Nya Sendiri.
Atas semua itu, dalam salah satu potongan sabda Nabi, yang dikutip oleh Imam Ghazali di dalam Ihya', dikatakan bahwa: "Cinta adalah asas (ajaran agama)-ku.” Dalam al-Qur’an sendiri terdapat lebih dari 20 (dua puluh) kata yang maknanya termasuk sebagai salah satu rumpun makna cinta. Dan tak kurang dari salah satu Imam yang juga cucu sang Nabi, Imam Ja’far al-Shadiq, yang mengatakan: “Apalagi agama itu kalau bukan cinta?!...Agama itu cinta dan cinta itu agama.”
Jangankan pada ada apa yang memang tampil sebagai kenikmatan, musibah dan kesulitan— mengikuti sabda Nabi—pun tak lain adalah, sapaan cinta-Nya.
Siksa dan neraka? Bahkan siksa neraka sesungguhnya adalah manifestasi kasih-sayang-Nya yang "meliputi segala sesuatu itu". Memang, semuanya itu adalah sarana penyucian dosa manusia, agar pada akhirnya semua manusia memiliki syarat untuk kembali menyatu dengan-Nya. Yakni setelah 'adzab menjadi 'adzib (rasa manis yang menyegarkan). Pun bukan tak ada ulama yang yakin bahwa siksa neraka sesungguhnya tak kekal abadi. Semuanya didasarkan kepada pemahaman mereka tentang ayat-ayat al-Qur’an sendiri. Buktinya, bukan cuma sufi heterodoks seperti Ibn ‘Arabi yang punya keyakinan demikian, bahkan tak kurang dari Ibn Taymiyah dan Ibnul Qayim (muridnya), punya keyakinan yang sama. (Untuk pembahasan lebih jauh, lihat buku penulis, Semesta Cinta, Pengantar kepada pemikiran Ibn ‘Arabi, bab “Surga dan Neraka”, Mizan,Bandung, 2017).
Memang Islam bukannya tak memiliki aspek “keras”. Namun, aspek ini selalu dibawahkan kepada aspek kasih-sayang ini. Dalam sebuah hadis terkenal disabdakan bahwa, di antara orang-orang yang akan diberi naungan oleh Allah ketika naungan tak ada lagi, adalah “orang-orang yang mencinta karna Allah dan membenci karena Allah." Ajaran yang sama juga terkandung dalam hadis Imam Ja’far yang dikutip di atas. Tapi, jika kita pertimbangkan bahwa rahmat-Nya meliputi segala, dan kasih-sayang-Nya menaklukkan murka-Nya, maka mudah dipahami bahwa bahkan kebencian itu merupakan perpanjangan dari kasih sayang. Seperti terkandung dalam perkataan Nabi Ibrahim yang disitir al-Qur’an, kebencian dan permusuhan diarahkan kepada sifat/perbuatan buruk orang, bukan kepada orang/pelakunya sendiri. Kenyataannya, setiap muslim punya kewajiban berdakwah, mengajak orang kepada Tuhan, kepada kebaikan. Mungkinkah seseorang mau mengajak orang kepada Tuhan dan kebaikan jika dia membenci—dalam makna menginginkan keburukan atas— orang tersebut?
Akhirnya, tak sulit bagi pembaca yang teliti untuk memahami ajaran al-Qur’an bahwa perang/kekerasan dalam Islam hanya legitimate jika ada agresi, atau penindasan, sementara jalan untuk menyelesaikannya secara damai sudah sama sekali tertutup. Begitu pun, perang dan kekerasan segera kehilangan legitimasinya begitu musuh—oleh sebab keadaan terdesak atau sebab lain—bersedia melakukan perundingan dan penyelesaian damai. (Lihat Appendiks buku penulis : Islam Risalah Cinta dan Kebahagiaan, Mizan, Bandung, 2015).
Ya, dalam segala kesibukannya dengan aspek hukum bahkan politik, sejatinya alpha-omeganya Islam adalah cinta dan kasih sayang. Dan hal ini telah terangkum dalam sebuah hadis qudsi tentang asal-muasal primordial penciptaan alam-semesta, yang di dalamnya Allah, Sang Pencipta sendiri berfirman: "Dulu aku (cuma sendiri sebagai) khazanah tersembunyi. Aku rindu (ahbabtu, aku cinta) dikenali. Maka kuciptakan ciptaan agar aku dikenal...". Ya, alam tercipta karena kerinduan dan cinta. Maka cinta pun ada di mana-mana—di antariksa tinggi, dalam diri manusia hingga hewan bersel satu, maupun dalam batu-batuan di pelosok bumi—kapan saja—setiap detik sejak azali hingga keabadian—menjadi ikatan yang tak pernah melemah di antara semua unsur penciptaan: Antara tuhan dan alam, antara Tuhan dan manusia, antara manusia dan manusia, dan antara manusia dan unsur-unsur alam selebihnya.
Nah, entah karena kesalahpahaman kaum Muslim sendiri, atau pun karena penyalahfahaman oleh pihak-pihak lain, paradigma pemahaman Islam sebagai agama kasih-sayang ini seperti tenggelam di bawah hiruk-pikuk peperangan dan kekerasan yang seolah terjadi di mana-mana di dunia Islam. Yang lebih parah, kesemuanya ini ditempatkan di bawah tajuk “jihad”, yang dipahami sebagai perang sabil, betapa pun kekeliruan pemahaman terhadap gagasan jihad ini sudah sedapat mungkin dicoba diluruskan sebagai jauh lebih luas ketimbang sekadar perang (qital). Dan bahwa jihad perang (disebut sebagai “jihad kecil” oleh Nabi) tak boleh dilandasi nafsu dan kebencian dan. Oleh karenanya, ia hanya dibolehkan bagi orang yang sudah berhasil dalam “jihad agung (jihad akbar)" berupa perang melawan hawa nafsu/egoisme. Agar dengan demikian perang pun dilandasi cinta: cinta kepada kemanusiaan.
Akibat kesalahpahaman ini, bukan saja citra Islam menjadi rusak, melainkan di dalam kalangan Islam sendiri muncul kelompok-kelompok yang memiliki aspirasi pemaksaan pendapat dan kehendak, tak jarang dengan menghalalkan kekerasan. Belakangan ini, gejala seperti ini terasa makin mengkhawatirkan sehubungan dengan adanya kecenderungan menguatnya kelompok-kelompok yang melintasi batas-batas negara-bangsa. Jika dibiarkan, gejala ini akan dapat menjadi ancaman yang serius bagi keutuhan dan kerukunan bangsa.
Dalam kerangka ini, yakni dalam kerangka upaya mengembalikan pemahaman kita bahwa Islam— di atas yang lain-lain—adalah agama kita, Gerakan Islam Cinta didirikan.
***
*Pendiri Gerakan Islam Cinta, penulis buku-buku Islam Cinta bestseller berjudul; Belajar Hidup dari Rumi, Mereguk Cinta Rumi, Love Like Rumi, Risalah Cinta dan Kebahagiaan, Islam: The Faith of Love and Happiness, Semesta Cinta; Pengantar kepada Pemikiran Ibn 'Arabi.