top of page

BERSIKAP ADIL DAN MEREDAM KEBENCIAN


Abad medsos (media sosial) adalah abad yang sarat dengan kegaduhan dan huru-hara, di samping banyak pula sisi positifnya jika digunakan oleh manusia beradab dan lapang dada. Di tangan manusia tuna adab dan sesak dada, medsos dijadikan sarana untuk mengumbar kebencian, sakit hati, dan dendam kesumat.

Saya tidak akan mengutip di sini kata-kata keji, nista, dan penuh kebencian yang bertebaran di medsos, sebab semuanya itu sudah berada di luar ranah akal sehat dan di luar jiwa yang masih bersih. Apa yang hendak diuraikan dalam “Resonansi” ini semata-mata bersumber dari tafsir al-Azhar oleh Hamka dalam surah al-Maidah ayat 8.

Tanpa mengubah redaksi bahasa Hamka dalam menerjemahkan ayat itu, berikut kutipannya: “Wahai orang-orang beriman! Hendaklah kamu menjadi manusia yang lurus kerana [sic] Allah, menjadi saksi dengan adil, dan janganlah menimbulkan benci padamu penghalangan dari satu kaum, bahwa kamu tidak akan adil. Berlaku adillah! Itulah yang akan melebih dekatkan kamu kepada takwa. Dan takwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat Mengetahui apa juapun yang kamu kerjakan.” (Lihat. Prof. Dr. Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu' VI. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984, hlm. 154-155).

Menjelaskan tentang hakikat kesaksian yang adil Hamka menulis: “Kalau seorang Mukmin diminta kesaksiannya dalam satu hal atau perkara, hendaklah ia memberikan kesaksian yang sebenarnya saja, yakni yang adil. Tidak membelok-belik karena pengaruh sayang atau benci, karena lawan atau kawan, karena yang dihadapi akan diberikan kesaksian tentangnya kaya, lalu segan karena kayanya. Atau miskin, lalu kasihan karena kemiskinannya. Katakan apa yang engkau tahu dalam hal itu, katakan yang sebenarnya, walaupun kesaksian itu akan menguntungkan orang yang tidak engkau senangi, atau merugikan orang yang engkau senangi.” (Hlm 156).Kemudian tentang kebencian yang dapat merintangi seseorang bersikap adil, Hamka menafsrkan: “Misalnya orang yang akan engkau berikan kesaksianmu atasnya itu, dahulu pernah berbuat sesuatu penghalangan yang menyakitkan hatimu, maka janganlah kebencianmu itu menyebabkan kamu memberikan kesaksian dusta untuk melepaskan sakit hatimu kepadanya, sehingga kamu tidak berlaku adil lagi. Kebenaran yang ada di pihak dia, jangan dikhianati karena rasa bencimu. Karena kebenaran akan kekal dan rasa benci adalah perasaan bukan asli dalam jiwa, itu adalah hawa dan nafsu yang satu waktu akan mereda teduh. 'Berlaku adillah! Itulah yang akan melebihdekatkan kamu kepada takwa.'”

Hamka meneruskan: “Keadilan adalah pintu yang terdekat kepada takwa, sedang rasa benci adalah membawa jauh dari Tuhan. Apabila kamu telah dapat menegakkan keadilan, jiwamu sendiri akan merasai kemenangan yang tiada taranya, dan akan membawa martabatmu naik di sisi manusia dan di sisi Allah. Lawan adil adalah zalim; dan zalim adalah salah satu dari puncak maksiat kepada Allah. Maksiat akan menyebabkan jiwa sendiri menjadi merumuk dan merana.” (Ibid)Jiwa manusia selalu berada dalam sorotan Allah. Hamka menulis: “Jiwa manusia di bawah pengawasan Tuhan, apakah dia setia memegang keadilan atau tidak. Jika masyarakat Islam telah diberi Allah kekuasaan, mengatur pemerintahan, adakah dia adil atau tidak. Selalu dikisahkan dalam Alquran bahaya yang menimpa suatu ummat karena zalimnya.”

“Apabila yang berkuasa tidak adil, maka yang dikuasai akan menderita dan patah hati, masa bodoh. Akhirnya hilanglah wibawa dan kemegahan ummat itu, dan mudahlah masuk kekuatan musuh ke dalamnya, dan mudahlah dirampas kemerdekaannya. Itulah ancaman azab siksaan dunia, dan akan datang lagi di akhirat. Nabi kita s.a.w menurut sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh at-Thabrani dari Jabir pernah bersabda [dikutip artinya]: Kalau ahli dzimmah [pemeluk agama lain di dalam pemerintahan Islam yang wajib dilindungi dan diperlakukan adil] telah dianiaya, maka pemerintahan negeri itu adalah pemerintahan musuh.” (Hlm 157).

Itulah penjelasan Hamka tentang keadilan yang tidak boleh dikotori oleh rasa benci terhadap seseorang dalam tafsir yang ditulisnya saat berada dalam tahanan politik awal 1960-an abad yang silam. Allahlah yang Mahatahu di mana posisi kita masing-masing. Di depan Allah, sebuah kebohongan, sekalipun diulang-ulang, akan sia-sia, tidak ada nilainya sama sekali.

*Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, Deklarator Gerakan Islam Cinta, Pendiri Maarif Institute.


  • twitter-round
  • instagram-4-512
  • facebook-7-xxl
  • youtube-2-256
Risalah Islam Cinta
bottom of page