MEWUJUDKAN ISLAM CINTA
Dalam sebuah riwayat disandarkan kepada Nabi dikatakan, jika keseluruhan Al- Qur’an dipadatkan maka pemadatannya ialah surah Al-Fatihah, yang terdiri atas tujuh ayat. Jika dipadatkan lagi maka pemadatannya terletak pada ayat pertamanya: Biismi Allah al-Rahman al-Rahim (Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang). Jika dipadatkan lagi maka pemadatannya terletak pada dua kata terakhir: Al-Rahman dan al-Rahim, yang berasal dari akar kata yang sama, yaitu rahima berarti cinta. Dengan demikian, jika keseluruhan ayat Al-Qur’an yang teradiri atas 6.666 ayat dipadatkan menjadi satu kata maka kata itu ialah cinta. Dengan demikian, cinta adalah mahkota Al-Qur’an. Cinta juga merupakan sifat utama (umm al-shifah) Allah Swt di antara sekian banyak sifat-Nya yang lain.
Jika kita hendak mengikuti sifat dan akhlak Allah Swt, seperti diserukan Nabi: Takhallaqu bi akhlaq Allah (berakhlaklah sebagaimana akhlaknya Allah), maka utamakanlah sifat-sifat cinta di dalam diri. Cinta paling tinggi (the saint lover) ialah ketika cinta sudah tidak mengenal obyek dan keadaan (unconditional love). Yang paling berat untuk dicapai ialah mewujudkan cinta Ilahi (divine love). Tahapnya paling awal bagaimana mewujudkan suasana dan perasaan cinta (in-loving). Mengatakan perkataan: I love you kepada sang kekasih hati jauh lebih mudah ketimbang mengatakan: I am in loving you (saya berada dalam suasana cinta kepadamu). Yang pertama masih ada obyek cinta di luar diri, sedangkan yang kedua mengisyaratkan segala sesuatu menjadi obyek cinta (in loving to them).
Jika cinta sudah terpatri di sekujur badan, jiwa, dan pikiran, maka vibrasinya akan menghapus semua kebencian kepada siapapun. Sebagai manifestasinya dalam kehidupan, begitu bertemu dengan seseorang, ia tersenyum, sebagai ungkapan dan tanda rasa cinta.
Rabi’ah al-‘Adawiyah, seorang sufi perempuan, pernah ditanya seseorang: “Apakah engkau tidak membenci Iblis?” Dijawab: “Cinta sudah memenuhi seluruh relung-relung tubuhku sehingga tidak ada lagi ruang untuk membenci siapapun termasuk Iblis”.
Imam Syafi’i pernah “dikerjai” oleh seorang tukang jahit saat memesan pembuatan baju. Lengan kanan bajunya dibuat lebih gombrang dibanding lengan kirinya yang kecil dan sempit. Imam Syafi’i bukannya komplain atau marah kepada tukang jahit itu, malah berterima kasih. Kata Imam Syafi’i, “Kebetulan, saya suka menulis dan lengan kanan yang lebih longgar ini memudahkan saya untuk menulis sebab lebih leluasa bergerak. Terima kasih anda memahami profesi saya”.
Indah hidup ini kalau tidak ada benci. Ini bukan berarti kita harus menahan marah atau tidak boleh marah. Yang kita lakukan adalah bagaimana menjadikan diri ini penuh cinta sehingga potensi kemarahan kita berkurang, kalau perlu hilang samasekali. Kita punya hak untuk marah, dan itu harus diungkapkan dengan proporsional. Pribadi pemarah akan melahirkan umat pemarah. Umat pemarah tidak sejalan dengan umat yang diidealkan Nabi di dalam Q.S. Ali ‘Imran/3: 104 & 110.
Dunia Islam dalam dua dekade terakhir seringkali menampilkan perilaku kebencian yang berlebihan, seperti yang dilakukan para teroris, yang rela mengorbankan sekian banyak nyawa yang tak berdosa dalam memeprjuangkan ide-idenya. Padahal, atas nama apapun, kepada siapapun, dan untuk kepentingan apapun, kekerasan tidak pernah dibenarkan menjadi alternatif solusi oleh Nabi Muhammad Saw. Al-Qur’an bahkan melarang seseorang mengorbankan atau mencelakakan diri sendiri untuk mencapai tujuan, semulia apapun tujuan itu, sebagaimana ditegaskan:
"Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (Q.S. al- Baqarah/2:195).
Ayat lain juga menegaskan:
"Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil." (Q.S. al-Maidah/5:8).
*Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, M.A., Deklarator Gerakan Islam Cinta, Imam Besar Masjid Istiqlal dan Guru Besar Ilmu Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta