Almarhumah Prof. Annemerie Schimmel, dalam salah satu ceramahnya di Universitas Harvard pada tahun 2002, pernah menyatakan bahwa Islam biasanya diperlakukan dengan agak buruk dan semberono, karena sebagian besar sejarawan agama dan mayoritas orang pada umumnya lebih melihatnya sebagai agama primitif yang melulu berhubungana dengan hukum. Namun, mengutip pendekatan beberapa ahli fenomenologi agama, Schimmel menunjukkan bahwa sesungguhnya Islam adalah sebuah agama yang tak kurang berorientasikan cinta-kasih dibanding agama Nasrani.
Pada kenyataannya, bukan saja Tuhannya Islam adalah Tuhan Kasih sayang yang menyatakan bahwa kasih sayang-Nya meliputi apa saja, dan menundukkan murka-Nya- nabinya Islam adalah nabi yang disebut Tuhan sebagai berakhlak agung karena cinta dan kasih-sayangnya kepada manusia. Maka, para ahli bahkan menyatakan bahwa sesungguhnya Tuhan menciptakan manusia -karena cinta- hanya agar manusia itu belajar -kembali mencintai-Nya. Dan mencintai-Nya, seperti diungkap dalam berbagai ajaran-Nya dan ajaran Nabi-Nya, hanya mungkin diwujudkan kedalam kecintaan kepada manusia yang oleh Tuhan sendiri tak kurang disebut kerabat-Nya sendiri.
40 Tokoh Muslim Indonesia pada tahun 2012 di Jakarta mendeklarasikan Gerakan Islam Cinta (GIC) sebagai respons kaum Muslim moderat terhadap fenomena intoleransi dan radikalisme yang mengatasnamakan agama. GIC terbuka bagi siapapun yang percaya bahwa Islam adalah agama cinta (rahmah), damai (salam) dan welas asih. Ayo bergabung menjadi Masyarakat Islam Cinta.
Memang Islam bukannya tak memiliki aspek "keras". Namun, aspek ini selalu dibawahkan kepada aspek kasih-sayang ini. Perang dan kekerasan dalam Islam hanya legitimate jika diperangi, atau jika terjadi penindasan. Begitupun perang dan kekerasan segera kehilangan legitimasinya begitupun perundingan dan penyelesaian damai dapat diselenggarakan.
Nah, entah karena kesalahfahaman kaum Muslim sendiri, atau pun karena penyalahfahaman oleh pihak-pihak lain, paradigma pemahaman Islam sebagai agama kasih-sayang ini seperti tenggelam di bawah hiruk pikuk peperangan dan kekerasan yang seolah terjadi di mana-mana di dunia Islam. Yang lebih parah, kesemuanya ni ditempatkan di bawah tajuk "jihad", yang dipahami sebagai perang sabil - betapa pun kekeliruan pemahaman terhadap gagasan jihad ini sudah sedapat mungkin dicoba diluruskan. Akibatnya, bukan saja citra islam menjadi rusak, didalam kalangan Islam sendiri muncul kelompok-kelompok yang memiliki aspirasi pemaksaan pendapat dan kehendak, tak jarang dengan menghalalkan kekerasan. Belakangan ini, gejala seperti ini terasa makin mengkhawatirkan sehubugan dengan adanya kecenderungan menguatnya kelompok-kelompok yang melintasi batas-batas negara-bangsa. Jika dibiarkan, gejala ini akan dapat menjadi ancaman yang serius bagi keutuhan dan kerukunan bangsa.
Kenyataannya, negeri kita tak bebas dari ancaman ini. Setiap pengamat yang teliti tak akan bisa gagal melihat bahwa gejala radikalisme yang berakal ekstrimisme, kebencian, dan aspirasi kekerasan sudah menampakkan tanda-tandanya di negeri kita. Maka, jika masyarakat tak mengambil inisiatif untuk segera diluruskan hal ini, dikhawatirkan negeri kita pun tak akan dapat membebaskan diri dari gejala konflik dan kekerasan sektarian atau keagamaan yang sekarang telah merundung berbagai negeri lain dan terbukti menyengsarakan rakyatnya.
Sebagai salah satu bentuk upaya masyarakat itu, kami berinisiatif untuk mendirikan sebuah organisasi yang kami sebut sebagai Gerakan Islam Cinta (GIC). Sengaja dipergunakan kata Gerakan untuk menegaskan niat bahwa, betapapun akan menjadikan cinta sebagai basis setiap kegiatannya, organisasi ini akan bersikap aktif dalam melancarkan upaya-upaya, baik dalam mewujudkan pergeseran paradigma dalam memahami dan menghayati Islam, maupun dalam mengambil langkah-langkah mewujudkan cinta-kasih dalam kehidupan kemasyarakatan, khususnya di negeri kita.