KUALITAS PUASA
Setidaknya terdapat empat dimensi untuk menimbang dampak positif Puasa Ramadan. Yang paling mudah diamati dan dikukur adalah, efek puasa terhadap kesehatan fisik. Ini wilayah ilmu kedokteran.
Berdasarkan pengamatan dan pengalaman medis, orang yang berpuasa bukannya menjadi sakit, justru sebaliknya, malah bertambah sehat. Bahkan banyak dokter yang menganjurkan agar seseorang berpuasa untuk membantu penyembuhan penyakit-penyakit tertentu. Saya sendiri merasa kolestrol dan gula darah lebih sehat selama dan setelah berpuasa Ramadan.
Yang kedua adalah, dampaknya pada kondisi mental-emosional. Selama berpuasa kondisi kejiwaan lebih tenang, stabil dan tak mudah emosi. Mungkin ini pengaruh dari perubahan ritme makan-minum, sehingga secara signifikan ketika berpuasa kita menjadi lebih sabar. Pikiran lebih jernih.
Lapar dan haus yang diniati ibadah dan secara sadar orang yang berpuasa bertekad mengendalikan hawa nafsu, dampaknya terasa sekali dalam kehidupan sehari-hari. Ini membawa dimensi yang ketiga, yaitu hubungan sosial yang lebih damai dan sehat.
Perhatikan saja selama Ramadan, hubungan sosial dalam masyarakat tiba-tiba berubah menjadi damai, masing-masing berusaha menahan diri. Orang yang berpuasa saling menghargai yang lain, bahkan terhadap yang tidak berpuasa sekali pun. Sebaliknya, mereka yang tak berpuasa juga menghargai temannya yang berpuasa.
Tiga dimensi di atas kesemuanya mudah diamati, dan tentunya masing-masing diri kita merasakan dan turut berpartisipasi di dalamnya. Terutama dalam membangun relasi sosial yang lebih damai dan penuh toleransi serta saling menghargai.
Dalam kehidupan keluarga misalnya, suasana baru sangat dirasakan perubahannya. Masing-masing tidak saja menahan diri dari makan dan minum di siang hari, namun lebih penting lagi adalah menahan lisan dan tindakan yang menyakiti orang lain, karena hal itu akan merusak kualitas puasa.
Suasana relijius terasa begitu kental. Salat Tarawih, Tadarus Alquran dan program TV kesemuanya turut mengondisikan dan memperteguh bahwa Ramadan adalah bulan spiritual dan keilmuan.
Dimensi keempat yang sulit diukur adalah, berkaitan kualitas puasa di mata Allah. Apakah ibadah puasa seseorang diterima Allah dengan nilai bagus? Ini di luar kapasitas kita untuk menakar dan memberi penilaian.
Memang benar, kita bisa melihat efeknya dalam tiga dimensi di atas, namun jika sudah menyangkut dimensi metafisik, tentu sepenuhnya hak prerogatif Allah. Bisa saja orang miskin yang bekerja keras banting tulang demi mencari nafkah untuk keluarganya sampai tak sanggup berpuasa kedudukannya lebih mulia dari mereka yang berpuasa, namun bergelimang harta haram.
Bisa jadi orang yang ke masjid untuk Salat Tarawih sambil mendengarkan ceramah agama pahalanya lebih banyak ketimbang imam dan penceramahnya. Itu terjadi jika orang yang pertama hatinya lebih tulus dan ikhlas, sedangkan yang kedua sekadar kegiatan rutin layaknya profesi.
Jadi, janji Allah Bulan Ramadan adalah bulan penuh berkah, ampunan, dan hujan pahala bagi siapapun yang beribadah, masuk wilayah metafisik, gaib. Ia cukup diyakini dengan penuh harap dan ikhlas, namun nalar manusia tak sanggup menakarnya. Di sinilah salah satu prinsip keimanan.
Iman tak mesti bertentangan nalar, bahkan iman yang sehat dan kokoh adalah yang didukung argumen penalaran sehat dan logis. Namun, nalar pada satu titik mesti berhenti, sepenuhnya masuk wilayah iman.
Oleh karenanya salah satu rukun iman adalah mempercayai pada yang gaib, yang tak mampu mata, telinga dan nalar menjangkaunya. Di antaranya, keyakinan bahwa Allah mendengarkan doa-doa hambaNya, terlebih yang dipanjatkan pada Bulan Suci Ramadan, oleh mereka yang bersih atau suci hati, pikiran dan tindakannya berkat ibadah puasa.
Sejak masa Rasulullah, ibadah puasa terjaga dan dijalankan para umatnya. Khususnya setiap Ramadan, tradisi keagamaan yang amat kokoh akar dan landasan doktrinalnya kemudian didukung argumen medis, psikologis dan dukungan budaya.
Yang selalu ditunggu dan dipertanyakan masyarakat adalah, bagaimana agar puasa Ramadan berdampak nyata bagi pembentukan kesalehan sosial. Bukan sekadar diyakini sebagai upaya pembersihan dosa-dosa individual-vertikal.
*Prof Komaruddin Hidayat, Dewan Pembina Gerakan Islam Cinta dan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sumber Tulisan : https://profkomar.wordpress.com